Strategi Menghadapi Resesi Ekonomi
Tidak perlu diyakinkan lagi bahwa kondisi ekonomi belakangan ini
memerlukan strategi bisnis yang tepat. Nilai rupiah turun drastis dari
level Rp9.500-an per dolar Amerika Serikat (AS) menjadi di kisaran
Rp13,800 (August 18th, 2015) dan ekonomi kita yang selama
bergantung kepada konsumsipun mengalami perlemahan yang cukup besar. Ada
yang berandai andai seakan melemahnya nilai tukar Rupiah akan membantu
meningkatan ekspor tapi pada kenyataannya dari komponen GDP= Consumption + Investment + Government Spending +Net Export,
Consumption adalah pendorong terbesar ekonomi kita. Indonesia bukan
sebuah export driven economy. Jadi selama consumption tetap lemah,
belanja pemerintah tetap tersendat dan investasi bisnis tertunda selama
itu pula perlemahan ekonomi akan berlanjut. Sebagai seorang yang selalu
optimis kita yakin pemerintah akan terus mengambil langkah langkah untuk
menjawab tantangan yang ada dengan baik dan sukses.
Nah sekarang bagaimana dan strategi apa yang harus diambil oleh pelaku bisnis konsumen di Indonesia?
Jawaban standar versi sekolah bisnis adalah: evaluasi kembali posisi
risiko perusahaan Anda; hindari sikap ekspansif; realisasikan pembuatan
contingency plan yang berjalan sejajar dengan strategic plan; fokus pada
bisnis utama; terapkan diferensiasi yang relevan; kurangi biaya, dll.
Standar jawaban tersebut kesemuanya berujung pada survival atau
semaksimal mungkin pada upaya mempertahankan posisi. Pemikiran ini
merujuk pada pengalaman historis yang menunjukkan penurunan daya beli
berpihak kepada pemain yang sudah exist. Kita hanya perlu bersikap
konservatif, dan mengencangkan ikat pinggang untuk mempertahankan
posisi.
Tapi, apakah strategi ini masih relevan pada saat ini? Jawaban
singkatnya untuk saya adalah tidak. Pelaku bisnis dan perusahaan yang
pintar justru tumbuh pesat di saat resesi. Dalam kondisi ekonomi yang
lemah konsumen akan lebih berhati-hati memilih produk dan merek. Mereka
ingin belanja menjadi lebih efektif. Misalnya, dengan memilih produk dan
merek yang secara konsisten mempersembahkan persepsi best value for money.
Untuk menghemat biaya konsumen akan lebih cermat dalam melakukan
pembelian. Small basket buying, berbelanja di toko-toko terdekat dan
memilih merek-merek yang diyakini. Semua ini membuat aksesibilitas dan
ketersediaan yang melebar (vs mendalam) menjadi faktor yang sangat
penting. Dan, tidak kalah pentingnya pemilik merek harus dapat dan mau
mempertahankan functional & emotional values yang
ditawarkan oleh merek dan produk mereka. Untuk sesaat, program diskon
yang tajam mungkin dapat menarik pembelian masa depan tapi juga akan
memberikan kesan bahwa selama ini pemilik merek mengambil keuntungan
terlalu besar untuk produk/merek yang sebenarnya tidak memiliki value
yang diumbar sebelumnya.
Strategi yang efektif dimulai dengan merubah persepsi dari pemilik
merek. Perlemahan ekonomi adalah saat yang paling tepat untuk mengambil
pangsa pasar dari competitor yang pesimis. Kedepankan dan terapkan
stategi volume before cost dan differentiation before price.
Artinya menguatkan top line sekaligus mempertahan bottom line. Krisis
tahun 1998 dapat dijadikan pelajaran dalam penerapan strategi ini.
Kebanyakan merek-merek besar yang ada sekarang ini adalah merek-merek
yang tidak menciut dalam menghadapi tantangan di masa krisis tersebut.
Sampoerna adalah suatu contoh yang membanggakan. Sebagai pemain urutan
ketiga di Indonesia pada waktu itu, Sampoerna seperti melawan arus malah
meningkatan pengembangan organisasi dan competency karyawan,
through-the-line aktifitas marketing, availability dan sekaligus
menaikan harga-harga merek-merek utamanya. Alhasil pada akhir krisis
Sampoerna sudah berhasil menjadi pemain no. 2 dan bahkan sudah melampaui
Gudang Garam (pemain no 1) di beberapa kota penting.
Kejadian tersebut sejalan dengan berbagai riset yang dilakukan di
berbagai negara membuktikan bahwa merek-merek yang mengambil langkah dan
sikap proaktif dan memperlakukan resesi sebagai kesempatan adalah merek-merek yang kemungkinan besar akan menjadi merek-merek terkuat begitu
resesi berakhir. Pembelajaran dari 26 global companies dalam periode 25
tahun terakhir misalnya menemukan bahwa perusahaan – perusahaan yang
tetap mempertahan atau bahkan mengembangkan brand investment mereka
telah membuahkan keuntungan yang jauh lebih tinggi daripada yang malah
mengikuti ombang ambing business cycles.
Memang, dalam masa sulit, tidaklah mudah untung menyakinkan konsumen untuk memilih merek-merek tertentu. Karenanya optimal matching
antara merek dengan kebutuhan konsumen mejadi suatu seni tersendiri dan
pengalaman dan knowledge menjadi sangat penting. Disinilah peran
marketer marketer handal Indonesia sangat dibutuhkan.
Komentar
Posting Komentar