Dalam Forum Group Discussion hari ini (Selasa, 3 November 2015) di Dinas Koperasi dan UMKM Propinsi Jawa Tengah, sekali lagi UMKM diingatkan atas kesiapannya menghadapai MEA dalam waktu dekat ini. Seperti biasa, FGD ini diselenggarakan oleh Kementrian Koperasi dan UMKM yang menghadirkan nara sumber Bapak Arimuddin dan Bapak Marsudi dari kementrian.
Sebenarnya UMKM telah muali jenuh dengan pengadaan FGD dengan topik yang sama, apalagi selalu diingatkan hal yang sama pula. Yang dibutuhkan oleh UMKM saat ini adalah motivasi untuk berpacu membangun daya saing produk dan motivasi mental bersaing mereka saat MEA resmi dibuka. Pertanyaan-pertanyaan yang sering diulang-ulang untuk hal yang sama, bukannya membuat mereka menjadi siap melainkan malah menjadi ragu dengan kesiapannya sendiri.
Terlepas dari adanya UMKM yang memang belum siap, sebenarnya mereka pun sudah dalam proses ke arah bersaing secara global. Mereka secara alamiah sudah tengok kanan dan kiri untuk belajar bagaimana mereka harus membuat produk yang diterima pasar, baik pasar lokal atau pun pasar ekspor sebagaimana yang ada dalam impian mereka. Seleksi pasar adalah cara jitu untuk "menuntun" mereka ke arah perbaikan-perbaikan.
Bagi UMKM yang telah memiliki kemandirian dan kemampuan bersaing, sudah pasti mereka sudah berbenah. Dan inilah tujuan dari semua pembinaan dan pengembangan UMKM yang dilakukan oleh Rumah UMKM dan beberapa penggiat UMKM lain di Jawa Tengah. MEA memang akhirnya ditakuti oleh sebagian UMKM yang masih pemula, yang belum memiliki produk yang kreatif dan inovati dan produk yang benar-benar mengangkat potensi lokal yang khas dan unik.
Mereka yang belum siap ini perlu segera mendapatkan "pertolongan darurat" berupa motivasi dan pemahaman konsep usaha yang lebih baik. Seringnya mereka diundang dalam diskusi yang tidak menghadirkan pakar praktisi yang mampu memberikan motivasi dan solusi justru akan membuat mereka "benar-benar" takut dengan MEA.
UMKM Lebih Takut Dengan Ekonomi Berbiaya Tinggi
Jika boleh jujur, UMKM binaan kami justru lebih takut dengan kondisi ekonomi berbiaya tinggi yang ada di Indonesia ini daripada dengan MEA. Biaya proses perijinan yang seharusnya bisa dibuat mudah dan murah (bahkan tidak berbayar) justru menjadi komoditas bagi oknum-oknum untuk mengambil keuntungan, biaya-biaya sertifikasi dan pajak UMKM yang berbasis pada omzet merupakan sebagian dari faktor yang menambah mahalnya biaya bisnis UMKM.
Bagaimana mereka mau bersaing jika beli bahan baku saja mahal, support teknologi dari pemerintah masih kedodoran, biaya pemasaran juga semakin mahal dan sebagainya. Sebenarnya ekonomi berbiaya tinggi inilah yang harus dikupas terlebih dahulu sebelum menanyakan kepada UMKM apakah mereka siap menghadapi MEA atau tidak.
Belum lagi kondisi krisis saat ini bagi UMKM justru mengkawatirkan karena daya beli masyarakat menurun sehingga berdampak kepada pemasaran produk mereka. Bahkan sementara UMKM yang bahan bakunya impor (pengrajin tahu dan tempe misalnya) kondisi ini mengancam keberlangsungan usaha mereka karena biaya perolehan bahan baku tinggi tetapi daya beli masyarakat mulai menurun.
Bagi kami MEA bukanlah hal yang terlalu "menakutkan" untuk dihadapi selama kondisi ekonomi di Indonesia kondusif untuk iklim usaha kecil. Kami lebih takut jika issue MEA ini yang seharusnya sudah reda menjelang akhir tahun ini, justru dihangatkan lagi untuk "membuang" anggaran negara dalam hal sosialisasinya. Semoga bukan ini maksud dan tujuan mengadakan diskusi ini.
Komentar
Posting Komentar