Meskipun kami tidak ahli dalam pajak, tetapi karena banyak binaan kami menanyakan perihal pajak, maka mau tidak mau kami harus memberikan sharing kepada teman-teman UMKM sekalian. Kami menghimpun beberapa referensi terkait dengan pajak untuk UMKM yang mungkin bermanfaat untuk teman-teman UMKM sekalian.
Meski usaha yang digeluti hanya berskala kecil hingga menengah, kewajiban bayar pajak tetap ada. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Tapi, beda dengan wajib pajak lainnya, pelaku usaha kecil atau menengah membayar pajak berdasarkan omzet. Hitung-hitungannya juga gak serumit wajib pajak lain.
Soalnya, yang dihitung hanya omzet. Rumus PPh untuk UKM: 1% x omzet.
Tapi, pelaku UKM yang dikenai pajak ini maksimal omzetnya Rp 4,8 miliar dalam setahun. Kalau lebih dari itu, perhitungan pajak beda lagi karena udah gak digolongkan sebagai UKM.
Yang tidak termasuk wajib pajak dalam Peraturan Pemerintah No 46/2013 ini adalah:
Orang yang usahanya:
- Menggunakan saranan/prasarana yang bisa dibongkar-pasang baik menetap maupun tidak menetap.
- Menggunakan sebagian/seluruh tempat umum yang sejatinya tidak boleh dipakai untuk berjualan.
Wajib pajak badan:
- Yang belum beroperasi secara komersial.
- Yang dalam kurun 1 tahun setelah beroperasi secara komersial mendapat peredaran bruto lebih dari Rp 4,8 miliar.
* Hitung-hitung dulu omzet usahamu sebelum lapor pajak
Sebenarnya PP 46/2013 tidak secara
khusus menyasar pelaku UKM. Namun, melihat ketentuan batas omzet yang
dikenai pajak sebesar Rp 4,8 miliar, dekat dengan pengertian UKM menurut
UU 20/2008.
Dalam undang-undang itu, yang disebut
pelaku UKM adalah orang atau badan yang peredaran maksimumnya Rp 50
miliar dalam setahun. Peredaran dalam hal ini disebut juga dengan omzet.
Yang juga perlu digarisbawahi dalam PP
No 46/2013 adalah dasar pengenaan pajak penghasilan yaitu peredaran
bruto tiap bulan. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat simulasi pajak
UKM di bawah ini.
Simulasi Pajak UKM
Pak Joko punya usaha jasa servis dan
perakitan elektronik. Usahanya sudah berlangsung 3 tahun dengan omzet
setahun terakhir Rp 160 juta.
Rinciannya:
- Januari Rp 15 juta
- Februari Rp 11 juta
- Maret Rp 13 juta
- April Rp 16 juta
- Mei Rp 15 juta
- Juni Rp 11 juta
- Juli Rp 10 juta
- Agustus Rp 8 juta
- September Rp 15 juta
- Oktober Rp 13 juta
- November Rp 17 juta
- Desember Rp 16 juta
Jadi, pajak penghasilan UKM Pak Joko
untuk bulan Januari sebesar 1% x Rp 15 juta = Rp 150 ribu. Pajak
penghasilan pada Februari adalah 1% x Rp 11 juta = Rp 110 ribu.
Demikian seterusnya. Omzet per bulan dikalikan 1%. Total pajaknya selama setahun adalah Rp 1,6 juta.
* Kalau usahamu sudah beromzet besar, perhitungan pajak udah beda lagi
Jika dilihat-lihat, memang penetapan pajak seperti ini dirasa kurang pas. Soalnya, omzet tidak sama dengan laba.
Bisa saja omzet besar tapi labanya minim karena modalnya juga besar. Namun, menurut Direktorat Jenderal Pajak, perhitungan ini sudah memperhitungkan laba/rugi pengusaha dan mempermudah pengusaha UKM.
Soalnya, sudah diperhitungkan bahwa
banyak pengusaha UKM yang tidak menjalankan pembukuan secara cermat.
Jadi, pajak final 1% x omzet akan mempermudah perhitungan.
Peraturan tentang pajak
penghasilan buat pelaku UKM ini kabarnya akan direvisi. Namun belum ada
berita lebih lanjut tentang rencana revisi tersebut.
Selagi nunggu kabar rencana, yuk hitung dulu omzet kita hari ini. Jangan sampai sudah rugi masih harus bayar pajak.
Ada baiknya kami juga akan sharing mengenai sebuah paper kerja mengenai evaluasi pengenaan PPH Final untuk UKM berikut ini, sekadar untuk referensi:
Komentar
Posting Komentar